Konsep Bermain dalam Islam Menurut Praktek Sahabat Nabi
Konsep Bermain dalam Islam. Saat kita sedang kumpul-kumpul di masjid, ada orangtua yang berkata, "Dahulu saya belajar hanya di kelas, tapi sekarang, anak-anak harus les, privat setiap sore lalu malamnya mengerjakan tugas." Kemudian dia (orangtua yang sedang kumpul-kumpul di masjid) melanjutkan dengan pertanyaan, "Memang tidak bisa ya, kalau tidak privat?"
Dengan pernyataan sekaligus pertanyaan orangtua tersebut membuat kami semakin khawatir akan nasib pendidikan hari ini. Semakin berkembangnya zaman, nampaknya orangtua semakin sulit pula untuk memberikan sedikit waktu bermain bagi anak-anak. Terlebih orangtua yang ada di kota-kota besar.
Segudang aktivitas sudah di hadapan mereka. Pada pagi hari, anak belajar di sekolah sampai siang, setelah selesai, anak les berhitung sampai sore, dan dilanjutkan privat malam di rumah. Begitulah sebagian besar rutinitas hari ini.
Setiap orangtua pasti memiliki alasan mengapa anak tidak diberi waktu istirahat. Mungkin sebagian orangtua ada yang berharap supaya melihat anaknya cerdas atau mampu menjawab pertanyaan akademik yang dilontarkan gurunya di kelas. Atau bahkan hanya sebagai pelampiasan hasrat orangtua supaya anaknya cerdas dan mengharumkan keluarga serta tidak menjadi aib baginya.
Semangat untuk menjadikan anak-anak berkualitas bukan jadi masalah, bahkan itu harus dimiliki setiap orangtua dan pendidik. Namun, apakah harus dengan cara membuat anak sibuk dengan les atau privat di rumahnya? Sehingga harus merampas hak bermain dengan teman-temannya atau minimal bermain sendiri?
Dalam sebuah penelitian bidang Psikologi dari Boston College kepada HealtyDay yang dikutip oleh situs USA Today. Anak-anak yang kekurangan waktu bermain lebih mungkin mengalami kelelahan, depresi, perasaan tidak berdaya. Saat ini, era dimana orangtua sangat waspada seperti ini, para peneliti menemukan bahwa anak-anak di Amerika, mempunyai lebih sedikit waktu untuk bermain dibandingkan anak-anak 50 tahun silam. Tren ini dikhawatirkan mempunyai dampak yang serius terhadap perkembangan kesehatan dan mental anak-anak. [Diktip dari web kuttabalfatih.com yang ditulis Ustadz Galan selaku manager kuttab seindonesia]
Lalu, bagaimana praktek para sahabat dalam bermain ketika masih anak-anak?
Konsep Bermain Anak-Anak dalam Islam yang Dicontohkan Nabi dan Sahabatnya
Konsep bermain sudah banyak dicontohkan oleh para sahabat dan langsung disaksikan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam. Sebagaimana yang sudah pernah kami kisahkan pada artikel: Memperbaiki Adab Anak dengan Berkisah, dimana Aisyah Radiyallahanha sedang bermain boneka kuda. Selain itu ada juga kisah Aisyah yang membawa boneka mainannya ke rumah beliau, kemudian Rasulullah mengajak teman-teman Aisyah ke dalam rumah supaya bermain dengan Aisyah.
Kemudian masih ada kisah yang disampaikan sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu tentang Abu Umair yang bermain burung pipit, beliau berkata:
ان النبي صلى الله عليه والسلام لَيُخَالِطُنَا حَتَّى يَقُولَ لِأَخٍ لِي صَغِيرٍ: يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ؟
Sungguh Nabi Shallallahu alaihi wasallam sering berkumpul dengan kami sehingga mengatakan kepada adik kecil saya: "Wahai Abu 'Umair, apakah gerangan yang sedang dikerjakan oleh burung kecil itu?" (Muttafaqun ‘alaihi).
Realitas seperti ini menunjukkan pengakuan dari Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam terhadap kebutuhan anak kecil terhadap mainan atau hiburan.
Permainan Anak-Anak yang Dianjrkan dalam Islam serta Batasan Bermain
Dalam kutipan hadist dan cerita di atas, bisa kita simpulkan bahwa anak-anak harus disediakan waktu bermain, karena permainan merupakan dunia mereka. Hanya saja permainan tersebut haruslah permainan yang dapat membantu pertumbuhan mereka. Baik pertumbuhan fisik, akal dan jiwa serta tidak melalaikan yang menjadikan anak berlebihan dalam bermain. Karena tujuan dari bermain adalah merehatkan sejenak pikiran mereka dari kejenuhan belajar. Maka sebaiknya orangtua menyediakan permainan yang bermanfaat, membantu seluruh tubuh mereka bergerak aktif, tidak mengganggu orang lain dan tidak membahayakan mereka dan orang lain serta tidak melalaikan.
Karena tujuan dari bermain adalah merehatkan sejenak pikiran mereka dari kejenuhan belajar. Maka sebaiknya orangtua menyediakan permainan yang bermanfaat, membantu seluruh tubuh mereka bergerak aktif, tidak mengganggu orang lain dan tidak membahayakan mereka dan orang lain serta tidak melalaikan.
Para ulama juga memahami urgensi bermain pada anak dan membentuk fisiknya. Imam Ghazali berkata dalam Ihya’ Ulumuddin;
"Sebaiknya anak diberikan kesempatan untuk bermain setelah mereka selesai belajar di sekolah-sekolah untuk melepaskan kelelahan dan ketegangannya ketika belajar dengan batasan, permainan yang dilakukan tidak melelahkannya. Karena melarang dan mencegah anak dari bermain dan menenggelamkannya terus menerus dalam belajar, akan mematikan hatinya, memandulkan kecerdasannya, dan kehidupan terasa sempit baginya. Hal itu akan menyebabkannya mencari berbagai cara untuk terbebas dari kekangan." [www.kuttabalfatih.com]
Baca juga: Pendidikan Islam Bukan Anti Matematika
Alhamdulillah, sekian pembahasan tentang Konsep Bermain dalam Islam Menurut Praktek Sahabat Nabi. Mari berikan sedikit waktu mereka untuk menggerakan otot-otot badan setelah berjam-jam belajar dengan penuh adab dalam majelis. Mengatur emosional mereka. Hanya sebentar walau hanya 30 hingga 60 menit saja. Wallahualam, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ditulis oleh Mujahid Pendidikan Abu Zaid bersumber dari modul Kuttab 1, Ustadz Budi Ashari Lc dan tulisan Ustadz Galan di web kuttabalfatih.com
Bermainlah sejenak anakku, agar hatimu tidak mati. Ingat nak, Jangan berlebihan hingga membuatmu lalai!
Posting Komentar untuk "Konsep Bermain dalam Islam Menurut Praktek Sahabat Nabi"
Tulis komentar di sini dan centang tombol "Notify me" atau "Ingatkan kami" agar Antum bisa melihat balasannya. Syukran